Social Icons

Pages

Minggu, 28 Oktober 2012

Sepenggal Kisah Tentang Cadar

ssalamualaikum sahabat, aaaarif ingin mencurahkan sedikit pengalaman arif kepada teman semua. Ini sebuah kisah yang Ingin arif Share kepada sahabat, sepenggal kisah tentang cadar…
Sore itu, saat lembayung senja mulai terlihat, saat langit memancarkan keindahan biasan warna oranye, saat orang – orang shaleh pergi ke mesjid untuk berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, Allah Swt, aku selesai memandu acara Kajian Fiqih Wanita tentang pernikahan dan cinta. Aku tahu, aku sudah cukup umur untuk mengetahui itu sekarang (umurku 15 tahun, aku rasa aku mulai beranjak dewasa). Meskipun aku sebenarnya masih berusaha memahami perasaan – perasaan Kakak – kakakku yang sedang kasmaran, serta bagimana wajahnya bersemu merah saat mendengar kata “khitbah”.
Terlepas dari itu, tugasku sebagai MC pun sudah selesai. Aku termasuk salah satu anggota pengurus Masjid Al-Fajar, sebuah masjid anggun yang berdiri di komplek Departemen Kesehatan Jakarta II. Secara terencana kami mengadakan Kajian Fiqih itu pada tanggal 23 Mei. Ketika itu aku sudah mulai mengenakan Jilbab. Kau tahu? Jilbab! Sejenis baju kurung yang menutupi kepala, wajah, dan dada, itu adalah tafsiran depag yang dipajang di bawah al-qur’an (footnote).
Tetapi, karena aku tidak memiliki baju seperti itu aku memadukan kerudung yang panjangnya mungkin skeitar 1 meter lebih dengan cadar mungil untuk menutupi wajahku. Tak ada motif aneh – aneh, hanya  ingin membuktikan kepada Tuhanku bahwa Aku mencintai rasulnya dan ingin mendapatkan cinta Rabbku. Meskipun sebenarnya cintaku pada nabiku pun belum seberapa. Seperempat atom pun tidak, mungkin. Aku tak mampu menebak dalamnya hatiku.
Awalnya aku pikir ini seperti hadiah yang Allah berikan kepadaku. Aku memang sudah berencana menggunakan cadar sejak merangkak ke kelas 3 SMP. Tetapi baru terealisasi saat aku hendak hengkang dari sekolahku tercinta, SMP 29 Jakarta. Aku merasa saat melihat muslimah bercadar mereka terlihat sangat anggun sekali. Bajunya itu seperti gaun indah dari surga. Mereka terlihat begitu mempesona dan berharga. Tentunya hanya Allah yang dapat membeli mereka, bukan dengan rupiah. Tapi dengan surga, insya Allah.
Sebelum – sebelumnya, aku juga memiliki presepsi aneh dengan mereka yang bercadar. Ekstrim, golongan fanatik, atau istri teroris. Yups! Media sangat membantu menyebarkan opini – opini itu. Aku harap dengan berkembangnya dakwah salafiyah kini, wanita bercadar tidak lagi identik dengan hal – hal yang menyeramkan itu.
Kau tahu, sobat? Ternyata mereka itu begitu cantik! Jarang sekali aku melihat wanita bercadar wajahnya kusam dan kusut. (Mungkin kecuali aku. Tapi sekarang aku berusahaha untuk menjernihkan wajahku, kok. Mencuci muka sesering mungkin aku rasa cara ampuh). Oh ya, senyum indahnya, ditunjukkan dengan tulus kepada saudari – saudarinya. Mereka begitu manis, sobat. :)
Pertama kali aku mengenal wanita bercadar saat ada Dauroh Tarbiah Hasmi di Bogor. Sebenarnya, kajian itu dikhususkan untuk para Mahasiswa. Aku merasa lebih nyaman bergaul degan orang – orang yang lebih dewasa daripadaku. Sehingga tak masalah kalau aku adalah makhluk paling kecil dalam komunitas mereka.
“Kakak… Kenapa bercadar?” kataku penasaran di sebuah ruangan yang mereka sebut sebagai kamar. Tetapi lebih terlihat seperti ruang kelas.
“Dulu, sahabat – sahabat wanita Nabi saat turun ayat Hijab (Al – Ahzab ayat 59) mereka merobek kain yang ada di rumah mereka untuk dipakain menjadi jilbab.” Kira – kira begitulah jawaban kakak itu. Aku tidak tahu apakah jawaban itu persis atau tidak, yang pasti aku lupa.
Jadi, singkatnya Kakak itu bercadar mengikuti sahabat – sahabat wanita Rasul dalam merealisasikan ayat Al – Ahzab ayat 59 itu. Meskipun ada juga sahabat wanita Nabi yang tidak menutup wajah, sehingga para ulama berselisih pendapat tentang itu, wajib ataukah sunnah. Mulai saat itu, hancurlah karang paradigma aneh yang bersemayam di otakku. Ternyata mereka tidaklah fanatik! Justru mereka mengikuti apa yang islam gariskan. Haduh, jangan bilang islam yang fanatik, ya, sobat! Ini justru pertanda bahwa agama mulia ini begitu memuliakan wanita.
Akhirnya tepat pada hari Sabtu atau Minggu (maaf aku pelupa :D ) aku pun meminta izin pada ibuku untuk mengenakan cadar. Ibuku menyetujuinya. Bagiku itu perkara mudah! Tak pernah terbesit di pikiranku bahwa kain mungil ini akan membawa presepsi salah pada masyarakat sekitarku, khususnya adik – adik TPA yang aku ajari.
“Mala…” Seorang kakak cantik yang wajahnya seperti orang Arab, bentuk wajah yang aku idam – idamkan semenjak film Larasati muncul di Indosiar, memanggil namaku. Ia duduk berhadapan denganku dan matanya bersitatap dengan mataku, serius. Ya, hanya fokus pada mata, karena saat itu aku menutupi wajahku dengan cadar unguku. “Gimana caranya supaya bisa istiqamah?” katanya.
Deg.
Aku mendadak memutar otak. Aku jarang memikirkan itu. Maksudku aku tidak begitu memiliki perhatian khusus pada ungkapan istiqamah. Apakah istiqamah suatu yang sangat sulit? Aku tahu, tapi… Ini seperti sebuah genderang perang di otakku agar cepat – cepat mengumpulkan berkas – berkas tentang keistiqamahan yang pernah kuketahui.
“Emmm, Kasih tahu kakak gimana caranya supaya bisa istiqamah menutup aurat.” Begitulah kira – kira, kata – kata yang meluncur begitu saja dari mulutnya yang indah. Seolah – olah, ia tidak memberikanku kesempatan untuk melakukan pemanasan saat ditembak dengan ucapan seperti itu.
Aku… Minder! Hahah! Itu sebuah kata yang digunakan iblis untuk menjeratku pada sarangnya yang lengket dan menjijikkan. Tapi, bismillah, kuluruskan niatku. Aku tidak ingin sok menggurui, kok. Aku hanya menyampaikan apa yang aku tahu. Kenapa harus takut dibilang sok suci? Sok tua?  Sok alim?
“Ehmm… Pertama, sih. Jilbab itu wajib. Mala gunain jilbab karena mengikuti perintah Allah surat Al – Ahzab ayat 59…” Lalu, rasa minder itu berganti dengan rasa ingin memberi. Lantas ku memberikan dalil – dalil shahih dari Al-qur’an dan hadis serta beberapa hikmah dari cerita tentang wanita. (Sobat bisa melihatnya disini)
Subhanallah… Hatinya… Hatinya ternyata lembut! Aku melihatnya dari matanya, jendela jiwa. Ia hampir saja ingin meneteskan air mata. Aku tahu, ia berusaha tegar. Hadis – hadis itu membuatnya tergugah. Segera saja setelah magrib selesai dan berbincang sedikit denganku, ia pun bergegas pulang. Aku berharap semoga Allah memberikan hidayah yang indah kepadanya dan juga kepadaku. Amin.
Tiba – tiba saja, ustadzah yang mengisi kajian Fiqih Wanita mengelus pundakku. “Yang istiqamah ya.” saat aku menuliskan ini, aku kembali mengira – ngira. Tapi ingat, aku tidak yakin apakah ucapannya persis seperti yang aku tuliskan.
Akhirnya, mendadak aku mengerti bahwa istiqamah adalah kata yang mudah namun sulit dilakukan. Di indonesia memang sedikit wanita yang bercadar, dan tantangannya mungkin sulit. Tetapi, karena aku sering bergaul degan Muslimah bercadar (Bibiku termasuk di dalamnya) aku merasa bercadar adalah hal lumrah dan wajar. Namun ternyata presepsi masyarakat masih saja rentan.
Hal itu terbukti saat aku melintasi Masjid Al – Fajar, ketika itu adik – adikku sedang mengaji. Mereka berteriak “TERORIS… TERORIS… TERORIS…!” tentu saja aku tersentak kaget. Adik – adiku yang telah ku didik dengan kasih sayang. Ku berikan ia nasehat – nasehat tentang Keesan Tuhan. Adikku dengan kenangan indah saat kita bercanda, saat kenakalannya membuatku tersenyum. Kini, ia melontarkan perkataan itu.  Dadaku terasa panas, air mataku ingin keluar. Tak ingin dibilang ceneng, aku menahannya.
“Idih, lebay banget, dah! Kakak – kakak yang lain aja nggak pake kayak gituan, tuh!”
“Bukannya di Indonesia dilarang pakai cadar, ya?”
“Kakak kayak kuntilanak!” (Seketika aku berpikir bahwa kunti itu bajunya putih bukan ungu!)
“Kayak Ninja…! Hahah”
“Kakak kayak orang gila, dah!”
Itu adalah ungkapan jujur yang jika saja Allah tidak merahmatiku, mungkin akan membuatku tersungkur dengan mata terbelalak.
Aku berusaha tersenyum di balik cadarku. Meskipun adikku itu tidak melihat bahwa aku tersenyum, setidaknya mataku menyiratkan hal demikian.
Setelah kejadian itu aku menuliskan surat untuk adik – adikku tercinta. Yang sampai saat ini belum ku berikan. Entah, aku hanya mampu mengucapkan, “Cadar itu sunnah nabi, sayang. Kalau kita menggunakan cadar mendapat pahala jika tidak juga tak apa – apa. Tapi yang pasti menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah wajib.
Tetapi ku rasa, inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan kegalauanku pada mereka. Semoga mereka membacanya.
“Teruntuk adik – adikku tersayang….
“Siapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan golonganku” itulah saba Rasul kita.
Aku tidak memaksa kalian untuk berhenti mengolok – olokku. Apalah hargaku ini. Aku hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan.  Tetapi, aku benar – benar takut saat kau mengolok – olok sunnah nabimu sendiri. Aku takut itu akan membawa petaka bagimu.
Adikku, apa yang kakakmu kenakan saat ini bukanlah ajang memamerkan diri, menganggap diri sok suci, bukan! Semua ini kakak lakukan karena Allah semata dan berusaha mencintai sunnah nabi yang suci. Dan dengan ini kakak ingin kalian juga terbiasa untuk mencintai Nabi kalian sendiri sehingga kita bisa dicinta oleh Allah.
Adikku, jika kalian ingin mengejekku itu terserah kalian. Bahkan Allah tak pernah memaksa. Tetapi yang perlu kalian ingat bahwa setiap apa yang kita perbuat dicatat oleh malaikat untuk dilaporkan kepada Allah, hakim yang paling adil. Entah itu kebaikan atau keburukan.
Tetapi yang kakak mohon kepada kalian, tolong hargai sunnah nabi kalian. Karena jika tidak, kakak takut perkataan yang menurut kalian sepele itu membuat kalian keluar dari agama yang lurus ini.
Semoga Allah mengampuni dosaku yang bejibun dan merhamati kita semua. Amin”
“Sing istiqamah ya, ndok…” Kata- kata itu masih terngiang – ngiang dalam benakku. Dan akan terus terngiang. Istiqamah, semoga Allah membantuku melakukannya. Tak peduli seberapa banyak duri yang menusuk, tak peduli seberapa besar ombak menerjang, aku harus tetap istiqamah. Entahlah! Aku sendiri masih ragu, mungkinkah aku dapat melakukannya?
Mungkin! Jika niat karena Allah Ta’ala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DEMI KESUKSESAN,,,,,!!!!

 

Sample text

Senyuman merupakan hal kecil yang dapat membuat hidup ini menjadi lebih mudah
“Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi Anda rasakan dalam semenit, sejam, sehari, atau setahun. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya”

Sample Text

Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita ketahui, kapankah kita akan mendapat pengetahuan yang baru ? Melakukan yang belum kita ketahui adalah pintu menuju pengetahuan.

Sample Text

MAS BROOOOWWW
Jangan terpaku dengan asumsi dan persepsi sendiri, karena bisa salah. Cobalah mulai membuka pikiran Kita terhadap pikiran orang lain, tentu saja dengan filter nilai-nilai yang Kita anut.